Teknologi Informasi di Indonesia boleh dibilang bukan
barang baru, seiring pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi,
komputer, dan konvergensinya (teknologi internet) di seluruh dunia mau
tidak mau telah mempengaruhi kita semua. Pemasyarakatan teknologi
informasi di Indonesia pun terus berjalan, jika dulu hanya perguruan
tinggi tertentu yang memiliki jurusan informatika, kini hampir semua
menawarkan, belum lagi perguruan tinggi yang khusus menawarkan program
studi komputer dan informatika. Belum lagi jika kursus-kursus komputer
yang menjamur di penjuru tanah air dihitung, bisa dikatakan sebagian
besar masyarakat kita sudah mengetahui dan memanfaatkan teknologi
informasi ini. Pemerintah kita bahkan sudah mengantisipasi sejak jauh
hari, terbukti saat kita meluncurkan satelit Palapa A1 tahun 1976, kita
menjadi negara keempat di dunia yang memiliki satelit, setelah Uni
Soviet (Rusia), Kanada, dan Amerika Serikat.
Namun ternyata, semua itu belum cukup mengantarkan kita ke
era informasi dan kondisi kita sekarang justru semakin memprihatinkan,
terlihat dari indikator-indikator di bawah ini :
- Tingkat pemilikan telepon (fixed line) di Indonesia hanya 3,5%, jauh bila dibandingkan negara-negara lain yang rata-rata sudah di atas 10%. Hal ini diperparah dengan tarif telepon (telekomunikasi) yang semakin meningkat, di sisi lain pendapatan perkapita kita menurun setelah dihantam krisis.
- Angka pembajakan software di Indonesia yang mencapai 88%, tertinggi ketiga di dunia setelah Vietnam dan RRC
- Kejahatan dunia maya (cybercrime) yang semakin gawat, meliputi kegiatan cracking, carding, dan lainnya. Indonesia adalah negara dengan tingkat kejahatan carding tertinggi kedua setalah Ukraina. Sementara, perundang-undangan mengenai ini belum ada.
- Penetrasi internet di Indonesia masih sangat rendah (sekitar 1-2%), apalagi dengan semakin melambungnya tarif jasa telekomunikasi yang masih dimonopoli
Masalah pembajakan, pernah diulas dalam tulisan mengenai HaKI,
namun tidak ada salahnya diulas lagi. Pembajakan sudah terjadi sejak
awal diperkenalkannya teknologi komputer pribadi (PC) di Indonesia.
Adaptasi PC di Indonesia yang 'terpaksa' menggunakan model PC rakitan
(dulu disebut jangkrik), yang lebih murah, dan tentunya perangkat lunak
yang digunakan pun yang bajakan, karena lebih murah (nyaris gratis), dan
tinggal dikopi saja. Praktik ini menjadi umum karena kurangnya
kesadaran para praktisi yang lebih tahu waktu itu (penulis pun baru
menyadari kalau software itu harus dibeli setalah membaca majalah
komputer luar negeri), kurang peduli terhadap HaKI (hak cipta) karena
belum ada peraturannya, belum adanya teknologi alternatif yang memadai
(Macintosh dan Unix jauh lebih mahal daripada DOS/Windows), dan terakhir
mahalnya harga software asli karena kurang agresifnya vendor yang underestimate terhadap pasar Indonesia sehingga berkesan membiarkan pembajakan untuk promosi (?).
Kalau sekarang sudah ada alternatif yang memadai
(linux/open source), semakin banyaknya kaum terdidik yang melek
teknologi, sudah ada peraturan perundangannya, serta vendor mulai
'bangun' tidur, toh pembajakan masih merajalela, apakah sebabnya? Faktor
penyebabnya adalah kebiasaan yang membuat semua orang membajak karena
sudah terbiasa, semua orang melakukannya, dan lingkaran antara vendor
hardware, dunia pendidikan, dan industri yang mengesankan bahwa
teknologi tertentu saja yuang dibutuhkan dan harus dikembangkan. Untuk
mengatasi pembajakan, harus ada kerja sama yang baik antara vendor
hardware (jangan mau memasang software bajakan di produknya), dunia
pendidikan (ditekankan bahwa membajak itu haram hukumnya), dan dunia
industri (penggunaan teknologi yang tepat guna, jangan sekadar
mengekor).
Lalu bagaimana dengan masalah-masalah lain? Kegiatan
hacking/cracking/carding yang meresahkan, terlepas dari motivasi yang
melatarbelakanginya, ketiga kegiatan itu tidak bisa disamaratakan.
Masalahnya terletak pada mentalitas tadi, keinginan untuk memperkaya
diri dengan cepat, atau menjadi terkenal dengan cepat, atau sekadar
menebar teror. Kalau para pejabat melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, apa yang bisa dilakukan opreker kere, ya tiga hal di atas
tadi. Toh, yang punya server-server bagus atau kartu kredit itu pasti
orang kaya, dan tinggalnya di luar negeri, jadi mereka malah bisa
berdalih atas nama patriotisme, mbelll....Patriotisme sebenarmya baru
akan terlihat dengan cara menunjukkan bahwa dunia teknologi informasi
kita tidak harus bergantung pada luar negeri. Bikin distro Linux
sendiri, bikin aplikasi office yang ada pengecek ejaan bahasa
Indonesianya, atau software pendidikan dan produktivitas lain yang
berguna bagi orang banyak, itulah patriotisme.
Masalah lainnya, pemerintah kita sepertinya tidak total
dalam mengurusi masalah ini. Di satu sisi, ada projek BPPT untuk membuat
sistem operasi nasional (WinBI/SoftwareRI), di sisi lain,
perundang-undangan cyberlaw tertunda-tunda, tarif telekomunikasi terus
naik, para operator VoIP dan wireless LAN ditangkapi, dan kompetisi di
bidang telekomunikasi nampaknya akan mati sebelum dilahirkan. Belum lama
ini, DPR mengkhawatirkan Indosat yang dibeli perusahaan asal Singapura
(STT...tanpa Telkom), karena konon takut disadap. Nyatanya, dirut
Indosat sendiri ngomong bahwa Dephan sama sekali tidak memakai satelit
Palapa milik Satelindo (yang 100% sahamnya dikuasai Indosat). Mengapa
mereka tidak mengurusi saja UU cyberlaw atau memikirkan cara menurunkan
tarif telekomunikasi yang terus melambung? Ketakutan yang sama terjadi
saat Divre V Telkom akan dibeli Indosat (tukar guling dengan Telkomsel),
dengan alasan Indosat akan dijual ke pihak asing. Mbelll....cuma
menunggu waktu sebelum Telkom mengalami nasib yang sama. Satu-satunya
dampak yang terjadi hanyalah kelambatan Indosat masuk ke bisnis fixed
line karena seharusnya entry point mereka di wilayah Divre V digagalkan,
entah dengan sengaja oleh Telkom atau sebab lain yang lebih tidak masuk
akal. Akibatnya, kompetisi di bidang telekomunikasi, khususnya fixed
line, nampaknya cuma impian saja. Pihak asing tidak berani masuk karena
bisnis seluler lebih menjanjikan, dan tidak ada perusahaan lain yang
mempunyai pengalaman sebaik Telkom yang sudah memonopoli bisnis ini
selama 30 tahun lebih.
Mengapa dibutuhkan kompetisi? Agar terjadi persaingan
sehat dalam memuaskan konsumen, baik dengan pelayanan, harga yang
pantas, maupun tenologi yang terunggul. Perhatikan bisnis seluler GSM,
yang hanya butuh waktu kurang dari sepuluh tahun untuk melampaui
pelanggan fixed line yang membutuhkan waktu 30 tahun lebih itu. Bisnis
ini bahkan masih berkembang kala krisis menghantam mulai 1997. Kata
kuncinya adalah persaingan sehat, dan itu mampu dilakukan. Sebenarnya
masih ada kompetitor potensial untuk Telkom, yaitu PLN. Selama ini
memang tidak disadari, bahwa PLN mempunyai basis jaringan kabel yang
jauh mengungguli Telkom, dan mencakup seluruh Indonesia, dengan jumlah
pelanggan lebih dari 50 juta. Teknologi terkini telah memungkinkan
jaringan kabel listrik dijadikan sarana telekomunikasi, dengan investasi
hanya sepertiga jaringan fixed line. Masalahnya, PLN belum mendapat
lisensi sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi telepon. Entah pihak
PLN yang malas mengajukan, atau pemerintah yang cuek terhadap potensi
ini. Kondisi idealnya, setiap pelanggan PLN dapat menginstalasi modem
PLC (Power Line Communication) untuk dapat memanfaatkan jasa
telekomunikasi telepon dan internet melalui jaringan PLN. Bayangkan
betapa cepatnya penetrasi fixed line phone dengan cara demikian. Krisis
PLN juga bisa teratasi dan bahkan bisa untung, berarti pemerintah tidak
usah menyubsidi tarif listrik, masyarakat bisa lebih cepat mendapat
sambungan telepon dan internet yang murah, dunia teknologi informasi
Indonesia pun bisa terakselerasi. Masalahnya, selain lisensi, adalah
kesiapan permodalan dan SDM yang mampu menangani dari PLN, juga budaya
perusahaan yang selama ini terbiasa memonopoli bisnis listrik, memasuki
kompetisi bidang telekomunikasi melawan operator yang lebih
berpengalaman.Sumber:http://www.oocities.org/imamindrap/articles/masalah_ti.html
0 komentar:
Posting Komentar