BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era
globalisasi sekarang ini dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin pesat, kebutuhan masyarakat juga semakin
bertambah dan seakan tidak ada habisnya. Kini teknologi merupakan suatu
sarana yang merambah hampir ke seluruh sektor kehidupan. Mulai dari
dunia pendidikan, hiburan, perdagangan, dari kalangan bawah hingga
kalangan atas. Hak cipta merupakan hak khusus bagi pencipta atau
pemegangnya untuk memperbanyak atau menggandakan hasil karya ciptaannya
yang tumbuh bersamaan dengan lahirnya suatu ciptaan. Pencipta berhak
pula atas manfaat ekonomi yang lahir dari ciptaannya tersebut, baik
dibidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Berbagai kemudahan yang
telah ditawarkan oleh kemajuan dibidang teknologi ini, namun tidak
selamanya membawa dampak positif.
Animo
masyarakat terhadap teknologi mendorong para pelaku dunia usaha untuk
dapat mencari keuntungan dengan memanfaatkan tingkat daya beli
masyarakat, pengetahuan akan aturan yang ada, dan hasrat untuk memenuhi
kebutuhan akan hiburan. Dari sinilah kemudian muncul berbagai
pelanggaran Hak Cipta. Bentuk dan jenis pelanggaran Hak Cipta pada
dasarnya sangat beragam, hal ini disebabkan oleh objek-objek ciptaan
yang sangat banyak. Namun yang sering kali terjadi adalah pembajakan
buku-buku, karya tulis yang diterbitkan atau karya tulis lainnya, produk
media optikal, lagu atau musik, sinematografi, piranti lunak (software) dan lain sebagainya.
Berbagai
praktek pelanggaran hak milik intelektual ini sudah berlangsung sejak
lama dan hingga kinipun masih saja terjadi bahkan dengan intensitas yang
lebih tinggi. Berbagai pelanggaran hukum atas Hak Cipta tersebut yang
telah berlangsung lama di Indonesia dilakukan dengan menggunakan alat
bantu teknologi, seperti teknologi digitalisasi. Penggandaan software,
CD, DVD, VCD, dan program computer yang dilakukan secara illegal
merupakan dampak negative dari penggunaan teknologi digitalisasi di era
masyarakat informasi ini.
Keberadaan
Hak Kekayaan Intelektual dalam hubungan antar manusia dan antar negara
termasuk Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Fakta
ini merupakan konsekuensi dari keikutsertaan pemerintah Indonesia
sebagai negara peserta perjanjian pembenrtukan WTO beserta
perjanjian-perjanjian lain yang terkait dengan WTO, terutama yang
terkait dengan perjanjian/konvensi-konvensi internasional di bidang Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI). Demikian pula pada hukum yang mengatur
tentang hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta, merk, paten, desain
industri, dan hak-hak lain yang tercakup di dalam Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka
kami mengajukan tema makalah mengenai ”Hak Kekayaan Intelektual”.
1.2 Perumusan Masalah
Penulisan dalam makalah ini akan membahas hal – hal yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti:
− Definisi benda beserta jenis-jenisnya
− Definisi Hak Kekayaan Intelektual secara umum maupun khusus
− Dasar hukum Hak Kekayaan Intelektual
− Jenis-jenis Hak Kekayaan Intelektual
− Kasus Hak Kekayaan Intelektual
− Dampak pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
− Solusi pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Benda Beserta Jenisnya
Teori
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John
Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik
dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada
sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda
yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak
milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari
intelektualitas manusia. Dalam undang/hukum Perdata jerman (1900)
digunakan istilah sache untuk menyebutkan barang atau benda berwujud.
Sedangkan Undang-Undang Perdata Austria (1811) kata sache digunakan
dalam arti yang sangat luas yaitu segala sesuatu yang bukan Personal dan
dipergunakan oleh manusia. Kaitannya dengan pendapat tersebut Prof
Mahadi mengemukakan pandangannya bahwa buah pikiran, hasil otak manusia
dapat pula menjadi objek hak absolut. Buah pikiran yang menjadi objek
hak absolut dan juga hak atas buah pikiran dinamakan benda immaterial.
Benda
adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak
milik. Pengertian benda tersebut dikemukakan pada pasal 499 KUH Perdata.
Prof. Mahadi menawarkan rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan
kalimat sebagai berikut: “yang dapat menjadi obyek hak milik adalah
benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak”. Selanjutnya
sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi barang yang dimaksudkan
olehpasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil, sedangkan hak
adalah benda immateril. Benda immateril atau benda tidak berwujud yang
berupa hak itu dapatlah dicontohkan seperti hak tagih, hak atas bunga
uang, hak sewa, hak guna bengunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa
jaminan, hak atas kekayaan intektual., dan lain sebagainya. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda
berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud,
itulah yang disebut dengan hak atas kekayaan intelektual.
2.1 Definisi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak
Kekayaan Intelektual atau yang biasa disingkat HAKI atau HKI merupakan
hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir
manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai
bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan
manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. Secara khusus Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau
harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris
Intellectual Property Right yang berasal dari kata "intelektual"
tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan,
daya pikir, atau produk pemikiran manusia Sedangkan secara umum
pengertian HAKI yaitu hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia dibidang ilmu pengetahuan, seni, sastra
ataupun teknologi, yang dilahirkan atau diciptakan dengan pengorbanan
tenaga, waktu, pikiran dan juga seringkali dengan biaya yang besar. Oleh
karena itu karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai dengan manfaat
ekonomi yang tinggi, sehingga bagi dunia usaha karya-karya itu bisa
menjadi aset perusahaan/industri.
Hak
cipta diberikan kepada pencipta atas karya ciptanya,
orang/kelompok/badan hukum yang menerima hak tersebut dari pemegangnya,
atau orang/kelompok/badan hukum yang menerima hak cipta dari
orang/kelompok/badan hukum yang diserahi hak cipta oleh pemegangnya. Hak
kepemilikan didapatkan secara otomatis begitu seseorang menghasilkan
karya cipta. Tidak ada keharusan untuk mendaftarkannya pada suatu badan
pengelola HAKI. Akan tetapi hak cipta yang terdaftar akan sangat berguna
untuk proses penyelesaian jika terjadi pelanggaran terhadap hak cipta
tersebut. Hak cipta bukan melindungi suatu ide atau konsep, tetapi
melindungi bagaimana ide atau konsep itu diekspresikan dan dikerjakan.
Tidak diperlukan pengujian, tetapi karya harus original, dibuat sendiri,
bukan copy dari sumber lain, dan penciptanya harus berkonstribusi
tenaga dan keahlian. Hak atas kekayaan intelektual merupakan suatu hak
khusus berdasarkan undang-undang diberikan kepada si penemu atas ide
pikirannya atau menurut hukum pihak yang berhak memperolehnya, atas
permintaan yang diajukannya kepada pihak penguasa, bagi temuan baru,
perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau menemukan
suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu
tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industri.
Unsur
industri mendapat tempat yang penting disini, haruslah dapat diterapkan
dalam bidang indsutri, apakah industri otomotif ,industri tekstil atau
industri pariwisata. Pada dasarnya teknologi lahir dari karsa
intelektual, sebagai karya intelektual manusia. Karena kelahirannya
telah melibatkan tenaga, biaya, dan waktu, maka teknologi memiliki nilai
atau sesuatu yang bernilai ekonomi, yang dapat menjadi objek harta
kekayaan (property). Dalam ilmu hukum yang secara luas dianut oleh
bangsa-bangsa lain, hak atas daya ikr intelektual tersebut diakui
sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti inilah yang
dikenal sebagai hak atas kekayaan intelektual. Sifat pengaturan hak atas
kekayaan intelektual ini bermaksud untuk melindungi seseorang yang
menemukan sesuatu hal agar buah pikiran da pekerjaanya tidak
dipergunakan begitu saja oleh orang lain.
2.2 Sejarah Perkembangan HAKI Di Indonesia
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan terjemahan dari Intellectual
Property Rights (IPR). Organisasi Internasional yang mewadahi bidang
HAKI yaitu WIPO (World Intellectual Property Organization).
Istilah yang sering digunakan dalam berbagai literatur untuk Hak Kekayaan Intelektual:
1 Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
2 Intellectual Property Rights (IPR)
3 Hak Milik Intelektual
Secara
historis, peraturan perundang-undangan dibidang HAKI di Indonesia telah
ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan
undang-undang pertama mengenai perlindungan HAKI pada tahun 1844.
Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885,
Undang-undang Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia
yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi
angota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak
tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan
1936, dan anggota Berne Convention for the Protection of Literaty and
Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu
tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di
bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD
1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda
tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta
dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten
yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana
ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat
diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta),
namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di
Octrooiraad yang berada di Belanda. Tahapan perkembangan HAKI di
Indonesia yaitu sebagai berikut:
1.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang
merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang
Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur
tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan
Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang
pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
2.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun
1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU
Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11
November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari
barang-barang tiruan/bajakan.
3.
10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for
the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)
berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia
dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat
pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1
sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
4.
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda.
Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya
ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa.
5.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HAKI di tanah
air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus
di bidang HAKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim
Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan
nasional di bidang HAKI, perancangan peraturan perundang-undangan di
bidang HAKI dan sosialisasi sistem HAKI di kalangan intansi pemerintah
terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
6. 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
7.
Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan
pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM)
untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta
yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat
Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
8.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU
tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh
Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku
tanggal 1 Agustus 1991.
9.
28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang
Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek
tahun 1961.
10.
Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act
Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS).
11.
Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6
tahun 1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
12.
Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No.
30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang
Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu.
13.
Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia
mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001
tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait.
Pada pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun
sejak di undangkannya.
14.
Pada tahun 2000 pula disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan
Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.
2.3 Dasar Hukum HAKI
Dasar
hukum mengenai HaKI di Indonesia diatur dengan undang-undang Hak Cipta
no.19 tahun 2003, undang-undang Hak Cipta ini melindungi antara lain
atas hak cipta program atau piranti lunak computer, buku pedoman
penggunaan program atau piranti lunak computer dan buku-buku (sejenis)
lainnya. Terhitung sejak 29 Juli 2003, Pemerintah Republik Indonesia
mengenai Perlindungan Hak Cipta, perlindungan ini juga mencakup: a.
Program atau Piranti lunak computer, buku pedoman pegunaan program atau
piranti lunak computer, dan buku-buku sejenis lainnya. b. Dari warga
Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika
Serikat, atau
c.
Untuk mana warga Negara atau mereka yang bertempat tinggal atau
berkedudukan di Amerika Serikat memiliki hak-hak ekonomi yang diperoleh
dari Undang-Undang Hak Cipta, atau untuk mana suatu badan hukum (yang
secara langsung atau tak langsung dikendalikan, atau mayoritas dari
saham-sahamnya atau hak kepemilikan lainnya dimiliki, oleh warga Negara
atau mereka yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Amerika Serikat)
memiliki hak-hak ekonomi itu; d. Program atau piranti lunak computer,
buku pedoman penggunaan program atau piranti lunak computer dan
buku-buku sejenis lainnya yang pertama kali diterbitkan di Amerika
Serikat.
Selain itu dasar-dasar hukum lainnya, yaitu:
− Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
− Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
− Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
−
Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention
for the Protection of Industrial Property dan Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization
− Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
− Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for Protection of
Literary and Artistic Works
− Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Jika
seseorang melakukan suatu pelanggaran terhadap hak cipta orang lain
maka orang tersebut dapat dikenakan tuntutan pidana maupun gugatan
perdata. Jika anda atau perusahaan melanggar hak cipta pihak lain, yaitu
dengan sengaja dan tanpa hak memproduksi, meniru atau menyalin,
menerbitkan atau menyiarkan, memperdagangkan atau mengedarkan atau
menjual karya-karya hak cipta pihak lain atau barang-barang hasil
pelanggaran hak cipta (produk-produk bajakan) maka berarti seseorang
tersebut telah melakukan tindak pidana yang dikenakan sanksi-sanksi
pidana sebagai berikut.
KETENTUAN PIDANA
PASAL 72
1.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2)
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3)
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu Program Komputer dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
500.000.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(4)
Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).
(5)
Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 19, pasal 20, atau pasal 49
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
atau denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta
rupiah).
(6)
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 24 atau pasal
55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta
rupiah).
(7)
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 25 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(8)
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar pasal 27 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 150.000.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah).
(9)
Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 28 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
1.500.000.000.000,00 (Satu milyar lima ratus juta rupiah).
2.4 Jenis-Jenis HAKI
Di
dalam Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (2006 : 3), dinyatakan
bahwa secara garis besar HKI dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Hak Cipta
Hak
Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak
cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu
pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan
secara eksklusif kepada pencipta, yaitu "seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan
berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi".
Yang termasuk ke dalam subyek hak cipta yaitu:
− Pencipta
Seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir
suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan
bersifat pribadi.
− Pemegang Hak Cipta
Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut diatas.
Sementara yang termasuk obyek hak cipta yaitu:
− Ciptaan
yaitu hasil setiap karya Pencipta dalam bentuk yang khas dan
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan
sastra. Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra.
Undang-Undang yang mengatur hak cipta yaitu:
Ø UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Ø UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
Ø UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
Ø UU
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara
RI Tahun 1997 Nomor 29)
Batasan tentang apa saja yang dilindungi sebagai hak cipta, dijelaskan pada rumusan
pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta (UHC) Indonesia yaitu sebagai berikut.
Ayat 1
Dalam Undang-Undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup:
a) Buku, program komputer, pamflet, susuan perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan,
dan semua hasil karya tulis lain.
b) Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
c) Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d) Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
e) Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim.
f) Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase, dan seni terapan.
g) Arsitektur.
h) Peta.
i) Seni batik.
j) Fotografi.
k) Sinematografi.
l) Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lainnya dari hasil
pengalihwujudan.
Ayat 2
Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan
tersendiri, dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
Ayat 3
Dalam
lindungan sebaagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk
juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang
nyata,
yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.Dengan demikian dapatlah
dipahami bahwa yang dilindungi oleh UHC adalah yang termasuk dalam karya
ilmu pengetahuan, kesenian, kesustraan. Sedangkan yang termasuk dalam
cakupan hak kekayaan perindustrian tidak termasuk dalam rumusan pasal
tersebut, meskipun yang disebutkan terakhir ini juga merupakan kekayaan
immateril. Satu hal yang dicermati adalah yang dilindungi dalam hak
cipta ini yaitu haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak
tersebut.
2. Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industry meliputi:
2.1 Hak Paten
Hak paten berdasarkan penjelasan dari Direktorat Jendral HKI (2006 :17)
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas
hasil invensi/temuannya di bidang teknologi yang untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dimaksudkan dengan
invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, dapat berupa produk
atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang
secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan
yang menghasilkan invensi.
Dasar
hukum dari perlindungan hak paten adalah UU No. 14 Tahun 2001 tentang
hak paten beserta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perlindungan paten. Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang
teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri.
Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang
hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan
yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Paten (UUP). Paten hanya diberikan negara kepada
penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi.
Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu
di bidang teknologi yang berupa :
− proses
− hasil produksi
− penyempurnaan dan pengembangan proses
− penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi
Undang-Undang yang mengatur tentang paten yaitu:
− UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun1989 No. 39)
− UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
− UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
2.2 Hak Merek
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
·
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf,
angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut
yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
· Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau
jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar
perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
·
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Fungsi
merek adalah sebagai : 1) tanda pengenal untuk membedakan hasil
produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan
hukum lainnya; 2) sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil
produksinya cukup dengan menyebut mereknya; 3) sebagai jaminan atas mutu
barangnya; 4) menunjukkan asal barang/jasa yang dihasilkannya, inilah
yang sering dikenal dengan indikasi geografis.
Istilah-istilah dalam hak merek yaitu:
Merek dagang
adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Merek jasa
yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
Merek kolektif
adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum
secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis
lainnya.
Hak atas merek
adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu,
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
menggunakannya.
Undang-Undang yang mengatur tentang hak merek yaitu:
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110).
2.3 Hak Desain Industri
(Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri) :
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi,
atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan
daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan
kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1).
UU
yang mengatur tentang desain industry ini adalah UU No. 31 Tahun 200
tentang Desain Industri. Lingkup desain industri yang mendapat
perlindungan adalah : 1) desain industri baru; 2) tidak bertentangan
dengan peraturan perundangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau
kesusilaan. Jangka waktu perlindungan terhadap hak desain industri
adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan. Subyek dari hak
desain industri ádalah pendesain atau yang menerima hak tersebut dari
pendesain.
2.4 Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
(Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu) :
Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah
jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya
satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau
seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam
sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi
elektronik.(Pasal 1 Ayat 1)
Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi
dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut
adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu
Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk
persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. (Pasal 1 Ayat 2)
2.5 Hak atas Rahasia Dagang
(Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang) :
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum
di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena
berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik
Rahasia Dagang.
Lingkup perlindungan rahasia dagang adalah meliputi metode produksi, metode
pengolahan,
metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau
bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat
umum.
2.6 Indikasi Geografis
(Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek) :
Indikasi-geografis
dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan
ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.(Pasal 56 Ayat 1)
Sedangkan
indikasi asal adalah suatu tanda yang memenuhi ketentuan tanda indikasi
geografis yang tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukkan asal
suatu barang atau jasa.
BAB III
PERMASALAHAN HAKI
HAKI
mendapatkan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan
dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi
teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat
bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si
pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang
memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran HAKI
sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat
ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan
software. Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang
komputer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program
yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara
ilegal.
Dampak
dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi
Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para
investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna
tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia
belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas
dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi
dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut
menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi
Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan
Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan
BSA (Bussiness Software Alliance).
Suburnya
pembajakan software di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih
belum siap menerima HaKI, selain itu pembajakan software sepertinya
sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan
tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan
karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan
kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan.
Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan
diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah daftar
harga software asli dari Microsoft:
01. CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
02. CD Original Windows® Millennium Edition US$75
03. CD Original Windows® XP Home Edition US$75
04. CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
05. CD Original Windows® XP Professional US$175
06. CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
07. CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MS
Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
08. CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MS
Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
Harga
di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan cd bajakan yang
ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita
menemukan betapa sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk
collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima
hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun
perlengkapan aksesorisnya.
Permasalahan
yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software
bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula
mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak
hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan
bersih dari penggunaan software bajakan. Bagaimana sebenarnya cara yang
bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk
melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan
opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang
(secara makro) cukup besar.
Umumnya sumber daya manusia yang dimiliki saat ini sudah terlatih untuk menggunakan software yang umum digunakan seperti Windows, Office,
dan sejenisnya yang merupakan proprietary software, dan untuk
menggunakan software proprietary secara legal membutuhkan biaya yang
cukup besar. Di sisi lain solusi ini barangkali terjawab dengan software
opensource seperti Linux dengan StarOffice misalnya, namun hal ini juga membutuhkan biaya untuk training SDM yang saat ini dimiliki dan invisible-cost yang muncul akibat turunnya produktifitas selama masa adaptasi.
Untuk mengurangi angka pembajakan software
di Indonesia, pemerintah Indonesia akan menggiatkan kampanye melawan
pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan akan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya masalah ini. Pemerintah juga
akan meningkatkan frekuensi pembersihan (razia), memperberat hukuman
terhadap para pelanggar HAKI dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah
masuknya produk-produk bajakan ke Indonesia. Salah satu langkah yang
diambil pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk Tim Keppres 34, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perundang-undangan hak cipta, merek dan paten.
BAB IV
DAMPAK PELANGGARAN HAKI
Dampak
pembajakan software di Indonesia tidak hanya merugikan perusahaan
pembuat software saja, tetapi pemerintah Indonesia juga akan terkena
dampaknya. Industri software local menjadi tidak berkembang karena
mereka tidak mendapat hasil yang setimpal akibat aksi pembajakan ini.
Selain itu mereka menjadi enggan untuk memproduksi software, karena
selalu khawatir hasilnya akan dibajak.
Terlepas
dari perusahaan software yang semakin hari merugi karena aksi
pembajakan, sebetulnya dunia TI Indonesia kini benar-benar menghadapi
suatu masalah besar. Dengan berlakunya TRIPs (Trade Related aspects of
Intellectual Property Rights Agreement) yang dicanangkan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) mulai 1 Januari 2000, produsen-produsen paket
piranti lunak komputer terutama yang tergabung dalam Business Software
Alliance (BSA) akan menuntut pembajak program buatan mereka ditindak
tegas sesuai ketentuan. Amerika Serikat, melalui United State Trade
Representatif yang dalam beberapa tahun belakangan ini menempatkan
Indonesia pada posisi priority watch list.
Kedudukan
ini sekelas dengan negara-negara lain seperti, Cina, Bulgaria, Israel,
Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, Mexico, maupun Korea. Padahal,
pengelompokan ini bukan tanpa sanksi. Jikalau Indonesia tak dapat
memperbaiki keadaan, maka sanksinya adalah penggunaan spesial 301 pada
United States (US) Trade Act. Ketentuan ini memberikan mandat kepada
pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan pembalasan (retaliation) di
bidang ekonomi kepada Indonesia.
"Dalam
hal ini, pasar Indonesia di Amerika Serikat yang menjadi taruhannya,
bidang yang menjadi sorotan utama, yakni hak cipta menyangkut pembajakan
video compact disk serta program komputer, dan paten berkenaan dengan
obat-obatan (pharmaceuticals). Karena itu, yang penting sebenarnya,
adalah komitmen dari penegak hukum Indonesia pada standar internasional
mengenai HaKI sendiri. Apalagi, Indonesia sudah menyatakan ikut dalam
convention Establishing on the World Trade Organization (Konvensi WTO)
yang di dalamnya terdapat Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights Agreement(TRIPs).
Memang
hukuman tersebut belum dilakukan secara langsung, tapi dapat berakibat
pada eksport Indonesia ke USA, dan yang buntut-buntutnya mempengaruhi
perekonomian Indonesia pada umumnya. Sayang sekali masih diabaikan oleh
masyarakat luas, termasuk pihak pendidikan, bidang HAKI sangat lekat
dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Pertumbuhan penghormatan
atas HAKI tumbuh sejalan dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara.
"Jikalau suatu negara perekonomiannya tergantung pada investasi asing,
maka mereka pun sangat berkepentingan dengan perlindungan HAKI. Keluhan
utama dari investor Amerika Serikat adalah belum memadainya penegakan
hukum bidang HAKI di Indonesia. Dua hal yang menjadi sorotan utama,
yakni penghormatan hak cipta yang menyangkut pembajakan VCD dan program
komputer, serta penghargaan hak paten berkenaan dengan obat-obatan.
BAB V
SOLUSI PELANGGARAN HAKI
Untuk
menekan pembajakan software, maka alternative pertama adalah dengan
menggunakan software berbasis linux yang disebarluaskan tanpa dipungut
biaya. Sehingga tetap bias mendapatkan harga murah, tanpa harus
menggunakan software bajakan. Namun hal tersebut masih sulit dilakukan.
Walaupun beberapa terakhir ini pihak pedagang sudah berupaya keras
menyosialisasikan software linux yang gratis. Namun pembeli masih
memilih software Microsoft yang sudah diakrabinya sejak lama. Untuk ini
memang butuh waktu, karena linux memang relative baru dikenal masyarakat
umum. Butuh advokasi market, agar software linux bias memasyarakat.
Alternative
pilihan yang kedua yaitu dengan diadakannya program “Campus Agreement”
guna memberi lisensi masal bagi computer kampus dengan harga jauh lebih
murah, antara lain untuk Windows 98,Windows NT, dan Microsoft Office.
Apabila model ini dapat disosialisasikan secara luas dikalangan kampus,
maka semestinya tidak ada lagi alasan pembenaran bagi tindakan
pembajakan software di lingkungan kampus.
Tawaran
dari pihak Microsoft Indonesia dengan memanfaatkan Microsoft Campuss
Agreement memang lumayan menolong. Akan tetapi pada kenyataan di
lapangan tidak semua institusi pendidikan memiliki dana yang memadai
untuk membayar lisensi. Berikut ini diberikan ilustrasi mengenai
besarnya dana yang perlu dikeluarkan oleh suatu institusi pendidikan.
Terus terang informasi ini hanyalah interpretasi dari informasi yang ada
pada situs Microsoft.
Memang
institusi pendidikan menghadapi dilema berat dalam aspek legalitas
perangkat lunak dan pembiayaannya. Sebagai contoh harga piranti lunak
yang biasa digunakan adalah sebagai berikut (informasi ini hanya
perkiraan minimal):
Program Harga satuan
Windows 95 USD 160
Program Harga satuan
Windows 98 USD 200
Windows NT USD 598 (tanpa lisensi CAL)
CAL Windows NT USD 15 per 1 user terkoneksi ke server
Jadi
sebagai contoh misal suatu institusi dengan 100 komputer yang
menggunakan MS Windows 98 sebagai sistem opersi maka akan menghabiskan
dana sekitar :
Jenis Jumlah Harga Total
Lisensi MS Windows 98 100 200 20.000
Lisensi MS Windows NT 1 598 598
CAL untuk MS Windows NT 15 100 1500
Total 22098
Sehingga
berdasarkan perkiraan kasar di atas, suatu institusi yang memiliki 100
komputer dan 1 NT server akan menghabiskan minimal 22.098 USD hanya
untuk pembelian lisensi sistem operasi. Belum termasuk biaya program
aplikasinya. Memang lisensi dari vendor tidak sesimple di atas, ada
beberapa model lisensi misal :
•
Premium customer. Lisensi ini diberikan kepada kustomer kelas besar
yang juga meliputi dukungan teknis dan akses kepada pengetahuan internal
(Knowledge Base).
• Customer biasa : Hanya memperoleh dukungan teknis dari partner (Solution Provider, CTEC, dan lain-lain)
•
MOLP (Microsoft Official License Programing), dikenal juga dengan
istilah paket hemat, akan tetapi tampaknya kini telah tidak ada lagi.
•
Lisensi massal yang diberikan kepada suatu institusi yang menggunakan
program dalam jumlah banyak, misal untuk institusi pendidikan dikenal
dengan Microsoft Campus Agreement
Tetapi
dalam bahasan ini hanya akan dibahas suatu lisensi keringanan yang
biasa diberikan bagi kampus. Lisensi ini memungkinkan suatu anggota
institusi untuk memiliki perangkat lunak produk MS secara lebih murah,
karena pihak institusi telah membayar secara borongan per tahun
berdasarkan jumlah warga institusi tersebut. Berdasarkan informasi pada
situs
http:atauatauwww.microsoft.comataueducationataulicenseataucampus.asp
Perhitungan
biaya akan dihitung dengan jumlah full time equivalent (FTE). FTE
dihitung berdasarkan jumlah staf dan pengajar yang dilaporkan pihak
sekolah ke pemerintah. Berdasarkan informasi di situs tersebut,
perhitungan FTE adalah sebagai berikut :
Dosen tetap + dosen tidak tetapatau3 + staf tetap + staf tidak tetapatau3 = total FTE
Misalkan
untuk suatu universitas dengan 1000 staf tetap dan 300 staf tidak
tetap, maka FTE total adalah sekitar 1100 (jumlah ini merupakan jumlah
tipikal bagi universitas di kota besar Indonesia). Misalkan tiap point 1
FTE harus membayar sekitar Rp 100.000,- (ini perhitungan minimum). Maka
biaya yang harus dikeluarkan institusi tersebut per tahun adalah 1100 x
Rp 100.000 yaitu sekitar Rp 110.000.000,- untuk tahun pertama.
Tahun berikutnya akan dibebani biaya perpanjangan kontrak kembali. Lisensi tersebut akan meliputi program :
• Microsoft Office Standard & Professional Editions
• Microsoft Office Macintosh Edition
• Microsoft Windows Upgrades
• Microsoft BackOffice Server Client Access License (CAL)
• Microsoft FrontPage
• Microsoft Visual Studio? Professional Edition
• Microsoft Office Starts Here?atauStep by Step Interactive by Microsoft Press
Dari
keterangan di atas jelas belum termasuk program-program seperti
compiler, pengolah grafik yang juga dibutuhkan untuk suatu institusi
pendidikan.
Tentu
yang akan menjadi pertanyaan, apakah setiap institusi pendidikan di
Indonesia mampu membayar beban ini ?, sebab ujung-ujungnya mahasiswalah
yang menerima beban ini. Tentu harus dicarikan lagi jalan keluar
pelengkap bagi institusi yang memiliki keterbatasan dana atau ingin
secara bijaksana memanfaatkan dana dari mahasiswanya.
Memang
kemudian pihak institut dapat menjual ulang ke mahasiswa atau staff
dengan dikenakan biaya seharga $25 -$50 untuk mendapatkan perangkat
lunak tersebut. Memang biaya ini lebih murah dibandingkan academic
price, tetapi tetap tinggi untuk ukuran Indonesia.Bahkan dengan kata
lain secara tidak langsung pihak universitas menjadi ujung tombak
pemasaran vendor kepada para mahasiswa.
Pilihan alternatif
Solusi
yang ada dan ditawarkan oleh para vendor saat ini akhirnya tetap akan
mengakibatkan pengeluaran dana yang sangat besar. Walaupun telah
menggunakan beragam lisensi yang mencoba meringankan biaya. Tetapi bila
nilai tersebut kita kalikan dengan jumlah perusahaan menengah yang ada
di Indonesia, maka jumlah tersebut akan menjadi cukup besar, dan menjadi
beban ekonomi yang tidak bisa diabaikan lagi. Tentu akan timbul
pertanyaan, apakah ada solusi lain untuk lepas dari kondisi ini ?.
Jawabannya adalah ada, dan akan dipaparkan pada tulisan ini.
Beberapa kemungkinan solusi untuk menghindari masalah di tuduhan pembajakan adalah sebagai berikut :
•
Pasrah dan terpaksa membeli perangkat lunak yang digunakan. Baik sistem
operasi, maupun aplikasinya. Sudah barang tentu bagi institusi besar
sebaiknya memanfaatkan segala bentuk lisensi yang meringankan biaya
total. Tetapi melihat sebagian besar peringanan biaya ini hanya berlaku
bagi perusahaan atau institusi yang menggunakan salinan lebih dari 5
komputer, tentu bagi perusahaan kecil tetap akan membayar dengan harga
biasa. Dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, solusi ini akan
menimbulkan beban ekonomi yang cukup besar. Bayangkan bagi suatu
perusahaan atau lembaga pendidikan yang memiliki 100 unit komputer.
Sudah barang tentu mau tidak mau terpaksa mengharap belas kasihan para
vendor untuk meringankan biaya lisensi. Permasalahan perkiraan biaya
dengan solusi ini telah dijabarkan di atas.
•
Mengembangkan perangkat lunak yang digunakan, baik sistem operasi
maupun aplikasinya. Solusi ini sangatlah ideal dan akan sangat baik
sekali bila dapat dilaksanakan. Sudah barang tentu akan memakan waktu
yang banyak serta Sumber Daya Manusia yang tidak main-main. Secara jujur
dapat dikatakan SDM bidang Teknologi Informasi di Indonesia belumlah
mampu melakukan hal ini secara luas. Hal ini tidak terlepas, dari
kenyataan saat ini, sebagian besar dari kegiatan praktisi TI adalah pada
penguasaan ketrampilan operasional dan implementasi dari sistem. Di
tambah lagi dengan kenyataan bahwa akses ke informasi internal dari
teknologi perangkat lunak yang digunakan sangatlah terbatas.
•
Memanfaatkan aplikasi Open Source, dan turut mengembangkannya sehingga
dapat menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Program Open Source
merupakan suatu program yang memiliki sistem lisensi yang berbeda dengan
program komersial pada umumnya. Lisensi hukum yang digunakan pada
program Open Source memungkinkan penggunaan, penyalinan, dan
pendistribusian ulang secara bebas, tanpa dianggap melanggar hukum dan
etika. Program Open Source relatif sudah dikembangkan cukup lama, dan
telah dimanfaatkan sebagai tulang punggung utama dari sistem Internet.
Beragam aplikasi Open Source saat ini tersedia secara bebas. Pemanfaatan
Open Source secara luas di Indonesia akan menghindari dari pengeluaran
biaya serta tuduhan pembajakan. Bahkan komunitas pengguna Open Source
pun telah tumbuh luas di berbagai daerah di Indonesia dari Banda Aceh (
http:atauatauaceh.linux.or.id hingga Makassar
http:atauatauupg.linux.or.id.
Dari
ketiga kemungkinan tersebut, dengan mempertimbangkan keterbatasan
waktu, biaya dan SDM maka solusi dengan memanfaatkan aplikasi Open
Source sangatlah menjanjikan untuk diterapkan untuk mengatasi masalah
ini. Sayang sekali hingga saat ini masih sedikit tanggapan dari pihak
Pemerintah mengenai kemungkinan pemanfaatan Open Source sebagai solusi
masalah HaKI.
Sebagai
perkembangan dari pemanfaatan aplikasi open source, maka bila dana yang
seharusnya digunakan untuk membeli perangkat lunak, dikumpulkan untuk
mendanai programmer Indonesia untuk mengembangkan aplikasi Open Source
tentu akan memberikan manfaat yang lebih besar, daripada membeli
aplikasi jadi dari luar negeri. Tentu saja ini membutuhkan visi masa
depan, bukan sekedar visi jangka pendek.
Memang
tidak harus suatu institut hanya memakai Open Source, ataupun hanya
memakai vendor based aggrement. Prosentase kombinasi haruslah
dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan jangka panjang dan ketersediaan
dana. Dalam rangka menekan angka pembajakan di Indonesia, Tim Nasional
Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI) akan
membuat program pendidikan dasar hak cipta.
“Program
ini dilakukan sebagai langkah preventif dengan cara membangun kesadaran
masyarakat akan pentingnya hak cipta,” ujar Andi N Sommeng, Sekretaris
Timnas PPHKI pada acara peluncuran kampanye nasional HKI antipenggunaan
software ilegal di The Darmawangsa Hotel, Jakarta, Kamis (12/02).
Ia
menjelaskan bahwa nantinya PPHKI akan menerapkan pendidikan dasar hak
cipta ini ke dalam dua jalur, yaitu degree dan non-degree. Untuk jalur
degree, menurutnya, nanti PPHKI akan mengusulkan kepada Diknas agar
pendidikan dasar hak cipta ini diselipkan dalam kurikulum pendidikan.
Dalam
waktu dekat PPHKI akan bekerja sama dengan perguruan tinggi mengenai
program ini. Sementara itu, untuk program pendidikan hak cipta
non-degree, rencananya akan dibuat semacam pelatihan yang nantinya akan
menelurkan praktisi-praktisi atau konsultan hak cipta.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar