Radio Australia (RA): Detik.com mulai muncul pasca
reformasi dan pembacanya paling banyak, apa tantangan dalam mengelola
portal online?
Budiono Darsono: Sekarang ini pengguna internet, terutama mobile makin banyak, bisa mencapai ratusan juta. Tantangannya bagaimana memberikan konten yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebagian besar mengakses media online, makanya harus pas memeberikan konten-konten yang dibutuhkan oleh publik, kalau tidak, ya kita tahu kalau di sebelah media online itu ada yang disebut media sosial (social media). Meskipun karakternya berbeda. Tantangan lainnya bagaimana media online menggunakan media sosial. Publik telah menggunakan media sosial untuk kepentingan mereka yang tidak tersuarakan oleh media mainstream. Nah, karena itu media-media mainstream harus bisa menggunakan media sosial, sehingga adanya konvergensi. Kalau membicarakan konvergensi itu bukan berarti ada koran, ada tv, cetak, dan online, tetapi adanya konvergensi antara mainstream media dengan media sosia.
RA: Sejak kapan Detik melakukan konvergensi dengan sosial media?
Budiono Darsono: Dalam dua tahun terakhir Detik sudah melihat bahwa sosial media ini sangat penting. Kita lihat salah satu media sosial yang dimanfaatkan oleh Detik ini adalah Twitter. Saat ini media dengan follower terbanyak di Twitter adalah Detik yang sudah mencapai 6 juta follower. Ini dimanfaatkan oleh Detik. Salah satu karakter media online adalah interaktif, yang bukan hanya tanggapan atau forum, tapi juga melalui Facebook dan Twitter. Ini sangat bermanfaat karena para pembaca Detik yang pengguna Twitter dan Facebook bukan sekedar memberikan masukan atau kritik, tetapi juga memberikan informasi. Ini kemudian yang kami follow up agar bisa menjadi berita. Ia akan memiliki click yang sangat besar. Satu berita di Detik itu bisa di retweet (RT) ribuan, apalagi berita-berita yang lagi ramai. Misalnya, berita soal Jokowi, atau yang terakhir kali itu waktu Rhoma Irama yang ingin mencalonkan menjadi Presiden 2014 mendapat RT luar biasa, yang sudah tentu ada yang pro dan kontra. Di iklim demokrasi di Indonesia, ya wajar saja.
RA: Pilihan informasi dan konten-konten yang disampaikan ke Twitter, seperti apa?
Budiono Darsono: Dalam kasus Rhoma Irama berniat mencalonkan diri sebagai Presiden 2014, ia memiliki kedekatan dengan publik dan ini menjadi kontroversial dan menjadi hit ketika muncul di Twitter. Jadi berita ini dimunculkan di Twitter, disitu baru kita bisa melihat respon secara jelas. Ini berbeda dengan media seperti cetak yang tidak menggunakan media sosial. Di (media) mainstream tidak akan kelihatan bagaimana respon publik, karena ruang publiknya hanya lewat surat pembaca dan ruangnya terbatas. Berbeda dengan media online. Dan itu menurut saya, salah satu kunci yang sangat penting dalam perkembangan media.
RA: Bagaimana dengan akurasi dalam media online?
Budiono Darsono: Akurasi tidak boleh dibahas, itu wajib, bahwa dalam dalam perjalanannya ternyata salah kutip atau salah ini, tetapi tidak boleh disengaja. Jika terjadi kesalahan, itu harus dilakukan ralat, itu kewajiban menurut saya. Bagi maysrakat Indonesia, akurasi itu sudah tidak jadi masalah. Publik mengerti, oh kalau ini salah, mereka akan teriak. Itu bedanya, media online itu lebih berat tantangannya, karena masyarakat bisa dengan cepat melihat ini salah atau benar. Pengontrolnya itu se-Indonesia, kasarnya begitu. Sehingga enggak bisa lagi, pengelola media online mau seenaknya sendiri, bermain-main atau dikontrol oleh kepentingan pemodal atau politik tertentu. Itu susah, pembaca itu benar-benar mengontrol, dia bukan sekedar menjadi pembaca, tetapi juga mengontrol terhadap pemberitaan. Ini yang berbeda dengan era dulu. Kita, sebagai media, dikontrol langsung oleh publik di jaman sekarang.
RA: Bicara soal berita luar negeri, seberapa besar kebutuhan pembaca untuk berita luar negeri dan bagaimana Detik menyikap berita-berita di luar Indonesia?
Budiono Darsono: Berita luar negeri, terus terang di Detik cukup punya peranan penting, cukup dibaca orang, ukurannya itu di beberapa negara tertentu. Salah satu unsur kedekatan sangat penting, adalah berita-berita Australia, Eropa, terutama Belanda dan Inggris, kemudian Amerika. Tentu saja Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah menjadi penting karena mereka punya kedekatan dengan Indonesia. Di negara-negara tersebut, Detik memiliki atensi untuk menambah pemberitaan di wilayah-wilayah itu. Seperti di Australia, yang berkaitan dengan orang Indonesia. Atau kebijakan pemerintah Australia, biasanya sangat bersentuhan dengan Indonesia. Karena itu, kalau kita lihat pemberitaan luar negeri di Detik, selalu fokusnya di Australia, Amerika, Belanda, Timur Tengah, Hong Kong, Singapura, hanya di sekitar itu. Negara seperti Argentina atau Brazil mungkin jauh, kecuali soal sepak bola. Ini menjadi sangat penting, karena adanya unsur kedekatan. Apalagi Australia yang memiliki kedekatan dan bertetangga dengan Indonesia, banyak orang Indonesia yang tinggal di Australia. Pembaca Detik itu hampir lima persen berasal dari wilayah Australia.
RA: Perspektif yang digunakan untuk memberitakan luar negeri apakah dilihat dari Indonesia atau seperti apa?
Budiono Darsono: Kami selalu menarik dari perspektif netral, tetapi selalu dikaitkan dengan konteks Indonesia. kenapa harus dikaitkan dengan konteks Indonesia, kita berharap bahwa berita itu di-click. Kalau kita membuat berita yang tidak dibaca orang, kan gagal. Bagaimana mensiasati agar berita itu di-click adalah dengan cara konteksnya di-Indonesia-kan. Saya ambil contoh, dalam seminggu ini adalah berita dari pemerintah New South Wales (NSW), Australia. Mereka akan memberi diskon 35% pada transportasi publik bagi pelajar asing yang ada di Sydney dan NSW. Kita beritakan karena kita sadar, bahwa banyak warga Indonesia yang tinggal di wilayah Sydney dan sekitarnya yang sekolah. Perspektifnya kita ambil bahwa pelajar Indonesia yang jumlahnya banyak disana akan mendapatkan diskon 35% untuk transportasi umum. Mereka (orang Indonesia di NSW) mungkin tidak tahu soal ini dari berita lokal disana, tapi malah dari detik, kan?
RA: Baru-baru ini Perdana Menteri (PM) Australia mengeluarkan White Paper plan, bagaimana ia menyarankan media-media di Australia mulai fokus dan memberikan perhatian terhadap Asia, termasuk Indonesia yang disebut 100 kali. Bagaimana tanggapan Anda, soal ini?
Budiono Darsono: Pidato itu kan sebetulnya melihat konteks bahwa Perdana Menteri Australia melihat Asia sebagai wilayah yang penting. Menurut saya, ini kesadaran yang begitu cepat, reaksi yang menurut saya sangat penting bagi Australia dalam kepentingannya dengan Asia. Kita lihat Amerika dan Eropa dan sekitarnya dalam keadaan krisis, sementara wilayah Asia justru menguat. Karena itu tidak ada pilihan bagi Australia untuk membangun hubungan baik dengan Indonesia dan Asia.
Selama ini, mungkin, ada persepsi di orang Indonesia bahwa Australia terlalu meremehkan Indonesia, terutama medianya. Wah, di media Australia itu kan Indonesia seperti tidak ada bagus-bagusnya. Kesadaran dari pemerintah Australia inilah yang harus membuat media di Australia juga mengubah persepsinya, jangan hanya melihat Eropa dan Amerika yang ternyata ancur-ancuran sekarang ini secara ekonomi. Justru, Asia yang semakin kuat dan Indonesia pun salah satu yang pertumbuhan ekonominya sangat kuat. Kita lihat, di Indonesia itu media online jauh lebih maju dari Australia.
Kalau media di Australia tidak segera masuk ke online pun, saya yakin akan ketinggalan jauh, karena publik Australia pun sebenarnya adalah pengakses internet, sementara mereka dipaksa untuk membaca secara tradisional, koran. Dan menurut saya, perspektifnya jauh kalau kita lihat kasus newsweek. Newsweek akan segera menutup edisi printnya, kemudian berubah menjadi online, itu menurut saya adalah suatu warning, yang harus dicermati oleh seluruh media di seluruh dunia, termasuk Australia. Saatnya untuk melihat bahwa konvergensi, terutama ke media online itu menjadi sektor penting untuk menyelamatkan media. Benang merah kami adalah digital live, semuanya digital. Kita lihat, Detik membikin Detik.com yang selama ini membuat portal dengan real time, sekarang kami mengembangkan dengan koran Detik yang terbit dua kali. Rencananya, kami akan terbit tiga kali, tapi semuanya digital, baik di versi iPad, Android, PDF, maupun Windows 8. Kemudian kami juga punya majalah Detik. Belakangan ini, kami meluncurkan majalah Male, khusus laki-laki. Kemudian kami punya Detik TV, bahkan kami siaran live. Pada saat Jokowi menang, kita live siarannya dan itu hanya bisa diakses streaming lewat internet dan frequency ini akan kita teruskan dalam banyak peristiwa.
Budiono Darsono: Sekarang ini pengguna internet, terutama mobile makin banyak, bisa mencapai ratusan juta. Tantangannya bagaimana memberikan konten yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebagian besar mengakses media online, makanya harus pas memeberikan konten-konten yang dibutuhkan oleh publik, kalau tidak, ya kita tahu kalau di sebelah media online itu ada yang disebut media sosial (social media). Meskipun karakternya berbeda. Tantangan lainnya bagaimana media online menggunakan media sosial. Publik telah menggunakan media sosial untuk kepentingan mereka yang tidak tersuarakan oleh media mainstream. Nah, karena itu media-media mainstream harus bisa menggunakan media sosial, sehingga adanya konvergensi. Kalau membicarakan konvergensi itu bukan berarti ada koran, ada tv, cetak, dan online, tetapi adanya konvergensi antara mainstream media dengan media sosia.
RA: Sejak kapan Detik melakukan konvergensi dengan sosial media?
Budiono Darsono: Dalam dua tahun terakhir Detik sudah melihat bahwa sosial media ini sangat penting. Kita lihat salah satu media sosial yang dimanfaatkan oleh Detik ini adalah Twitter. Saat ini media dengan follower terbanyak di Twitter adalah Detik yang sudah mencapai 6 juta follower. Ini dimanfaatkan oleh Detik. Salah satu karakter media online adalah interaktif, yang bukan hanya tanggapan atau forum, tapi juga melalui Facebook dan Twitter. Ini sangat bermanfaat karena para pembaca Detik yang pengguna Twitter dan Facebook bukan sekedar memberikan masukan atau kritik, tetapi juga memberikan informasi. Ini kemudian yang kami follow up agar bisa menjadi berita. Ia akan memiliki click yang sangat besar. Satu berita di Detik itu bisa di retweet (RT) ribuan, apalagi berita-berita yang lagi ramai. Misalnya, berita soal Jokowi, atau yang terakhir kali itu waktu Rhoma Irama yang ingin mencalonkan menjadi Presiden 2014 mendapat RT luar biasa, yang sudah tentu ada yang pro dan kontra. Di iklim demokrasi di Indonesia, ya wajar saja.
RA: Pilihan informasi dan konten-konten yang disampaikan ke Twitter, seperti apa?
Budiono Darsono: Dalam kasus Rhoma Irama berniat mencalonkan diri sebagai Presiden 2014, ia memiliki kedekatan dengan publik dan ini menjadi kontroversial dan menjadi hit ketika muncul di Twitter. Jadi berita ini dimunculkan di Twitter, disitu baru kita bisa melihat respon secara jelas. Ini berbeda dengan media seperti cetak yang tidak menggunakan media sosial. Di (media) mainstream tidak akan kelihatan bagaimana respon publik, karena ruang publiknya hanya lewat surat pembaca dan ruangnya terbatas. Berbeda dengan media online. Dan itu menurut saya, salah satu kunci yang sangat penting dalam perkembangan media.
RA: Bagaimana dengan akurasi dalam media online?
Budiono Darsono: Akurasi tidak boleh dibahas, itu wajib, bahwa dalam dalam perjalanannya ternyata salah kutip atau salah ini, tetapi tidak boleh disengaja. Jika terjadi kesalahan, itu harus dilakukan ralat, itu kewajiban menurut saya. Bagi maysrakat Indonesia, akurasi itu sudah tidak jadi masalah. Publik mengerti, oh kalau ini salah, mereka akan teriak. Itu bedanya, media online itu lebih berat tantangannya, karena masyarakat bisa dengan cepat melihat ini salah atau benar. Pengontrolnya itu se-Indonesia, kasarnya begitu. Sehingga enggak bisa lagi, pengelola media online mau seenaknya sendiri, bermain-main atau dikontrol oleh kepentingan pemodal atau politik tertentu. Itu susah, pembaca itu benar-benar mengontrol, dia bukan sekedar menjadi pembaca, tetapi juga mengontrol terhadap pemberitaan. Ini yang berbeda dengan era dulu. Kita, sebagai media, dikontrol langsung oleh publik di jaman sekarang.
RA: Bicara soal berita luar negeri, seberapa besar kebutuhan pembaca untuk berita luar negeri dan bagaimana Detik menyikap berita-berita di luar Indonesia?
Budiono Darsono: Berita luar negeri, terus terang di Detik cukup punya peranan penting, cukup dibaca orang, ukurannya itu di beberapa negara tertentu. Salah satu unsur kedekatan sangat penting, adalah berita-berita Australia, Eropa, terutama Belanda dan Inggris, kemudian Amerika. Tentu saja Singapura, Hong Kong, dan Timur Tengah menjadi penting karena mereka punya kedekatan dengan Indonesia. Di negara-negara tersebut, Detik memiliki atensi untuk menambah pemberitaan di wilayah-wilayah itu. Seperti di Australia, yang berkaitan dengan orang Indonesia. Atau kebijakan pemerintah Australia, biasanya sangat bersentuhan dengan Indonesia. Karena itu, kalau kita lihat pemberitaan luar negeri di Detik, selalu fokusnya di Australia, Amerika, Belanda, Timur Tengah, Hong Kong, Singapura, hanya di sekitar itu. Negara seperti Argentina atau Brazil mungkin jauh, kecuali soal sepak bola. Ini menjadi sangat penting, karena adanya unsur kedekatan. Apalagi Australia yang memiliki kedekatan dan bertetangga dengan Indonesia, banyak orang Indonesia yang tinggal di Australia. Pembaca Detik itu hampir lima persen berasal dari wilayah Australia.
RA: Perspektif yang digunakan untuk memberitakan luar negeri apakah dilihat dari Indonesia atau seperti apa?
Budiono Darsono: Kami selalu menarik dari perspektif netral, tetapi selalu dikaitkan dengan konteks Indonesia. kenapa harus dikaitkan dengan konteks Indonesia, kita berharap bahwa berita itu di-click. Kalau kita membuat berita yang tidak dibaca orang, kan gagal. Bagaimana mensiasati agar berita itu di-click adalah dengan cara konteksnya di-Indonesia-kan. Saya ambil contoh, dalam seminggu ini adalah berita dari pemerintah New South Wales (NSW), Australia. Mereka akan memberi diskon 35% pada transportasi publik bagi pelajar asing yang ada di Sydney dan NSW. Kita beritakan karena kita sadar, bahwa banyak warga Indonesia yang tinggal di wilayah Sydney dan sekitarnya yang sekolah. Perspektifnya kita ambil bahwa pelajar Indonesia yang jumlahnya banyak disana akan mendapatkan diskon 35% untuk transportasi umum. Mereka (orang Indonesia di NSW) mungkin tidak tahu soal ini dari berita lokal disana, tapi malah dari detik, kan?
RA: Baru-baru ini Perdana Menteri (PM) Australia mengeluarkan White Paper plan, bagaimana ia menyarankan media-media di Australia mulai fokus dan memberikan perhatian terhadap Asia, termasuk Indonesia yang disebut 100 kali. Bagaimana tanggapan Anda, soal ini?
Budiono Darsono: Pidato itu kan sebetulnya melihat konteks bahwa Perdana Menteri Australia melihat Asia sebagai wilayah yang penting. Menurut saya, ini kesadaran yang begitu cepat, reaksi yang menurut saya sangat penting bagi Australia dalam kepentingannya dengan Asia. Kita lihat Amerika dan Eropa dan sekitarnya dalam keadaan krisis, sementara wilayah Asia justru menguat. Karena itu tidak ada pilihan bagi Australia untuk membangun hubungan baik dengan Indonesia dan Asia.
Selama ini, mungkin, ada persepsi di orang Indonesia bahwa Australia terlalu meremehkan Indonesia, terutama medianya. Wah, di media Australia itu kan Indonesia seperti tidak ada bagus-bagusnya. Kesadaran dari pemerintah Australia inilah yang harus membuat media di Australia juga mengubah persepsinya, jangan hanya melihat Eropa dan Amerika yang ternyata ancur-ancuran sekarang ini secara ekonomi. Justru, Asia yang semakin kuat dan Indonesia pun salah satu yang pertumbuhan ekonominya sangat kuat. Kita lihat, di Indonesia itu media online jauh lebih maju dari Australia.
Kalau media di Australia tidak segera masuk ke online pun, saya yakin akan ketinggalan jauh, karena publik Australia pun sebenarnya adalah pengakses internet, sementara mereka dipaksa untuk membaca secara tradisional, koran. Dan menurut saya, perspektifnya jauh kalau kita lihat kasus newsweek. Newsweek akan segera menutup edisi printnya, kemudian berubah menjadi online, itu menurut saya adalah suatu warning, yang harus dicermati oleh seluruh media di seluruh dunia, termasuk Australia. Saatnya untuk melihat bahwa konvergensi, terutama ke media online itu menjadi sektor penting untuk menyelamatkan media. Benang merah kami adalah digital live, semuanya digital. Kita lihat, Detik membikin Detik.com yang selama ini membuat portal dengan real time, sekarang kami mengembangkan dengan koran Detik yang terbit dua kali. Rencananya, kami akan terbit tiga kali, tapi semuanya digital, baik di versi iPad, Android, PDF, maupun Windows 8. Kemudian kami juga punya majalah Detik. Belakangan ini, kami meluncurkan majalah Male, khusus laki-laki. Kemudian kami punya Detik TV, bahkan kami siaran live. Pada saat Jokowi menang, kita live siarannya dan itu hanya bisa diakses streaming lewat internet dan frequency ini akan kita teruskan dalam banyak peristiwa.
0 komentar:
Posting Komentar